Sunan Tembayat
Di luar Wali Songo, ada puluhan tokoh penyebar agama Islam di Jawa yang juga dianggap sebagai wali. Hanya biasanya mereka berkuasa di kawasan tak seberapa luas. Sunan Tembayat misalnya, dikenal sebagai pedakwah di Tembayat, sebuah wilayah kecamatan di Kabupaten Klaten Jawa Tengah. Ia dilegendakan sebagai murid Sunan Kalijaga. Sunan Tembayat adalah Adipati Semarang yang termasyhur dengan nama Ki Ageng Pandanarang. Berdasarkan cerita babad yang dikutip H.J. De Graaf dan T.H. Pigeuad --pakar sejarah dari Universitas Leiden, Negeri Belanda--, Pandanaran meninggalkan singgasananya lantaran gandrung akan ajaran Islam yang disampaikan Sunan Kalijaga.
Pada tahun 1512 Pandanarang menyerahkan tampuk pemerintahan kepada adik laki-lakinya. ''Ia bersama istrinya mengundurkan diri dari dunia ramai,'' tulis De Graaf dan Pigeaud dalam buku Kerajaan Islam Pertama di Jawa. ''Pasangan bangsawan Jawa ini berkelana mencari ketenangan batin sembari berdakwah,'' Usai bertualang, Pandanarang dan istrinya bekerja pada seorang wanita pedagang beras di Wedi, Klaten. Akhirnya ia menetap di Tembayat sebagai guru mengaji. Di sana selama 25 tahun Pandanarang hidup sebagai orang suci dengan sebutan Sunan Tembayat. Ia wafat pada 1537 dan dimakamkan di situ. Bangunan kompleks makam Sunan Tembayat terbuat dari batu berukir menyerupai bentuk Candi Bentar di Jawa Timur dan pura di Bali.
Pada prasasti makam Sunan Tembayat tertulis, makam ini pertama kali dipugar pada 1566 oleh Raja Pajang, Sultan Hadiwijaya. ''Kemudian, pada 1633, Sultan Agung dari Mataram memperluas dan memperindah bangunan makam Tembayat,'' tulis De Graaf. Cerita tutur tentang kesaktian orang suci dari Semarang yang dimakamkan di Tembayat ini menurut De Graaf sudah beredar luas di kalangan masyarakat Jawa sejak pertengahan abad ke-17. Kisah ini ternukil di naskah klasik karya Panembahan Kajoran dari Yogyakarta yang ditulis pada 1677. Naskah tersebut pertama kali diteliti oleh D.A. Rinkes pada 1909. Dan kini bukti sejarah itu tersimpan di Museum Leiden, Negeri Belanda. ''Dengan begitu legenda itu punya inti kebenaran,'' tulis De Graaf, yang dijuluki ''Bapak Sejarah Jawa''.
Sunan Geseng
Selain Sunan Tembayat --menurut versi Babad Tanah Jawi-- Sunan Kalijaga juga punya murid lain, Sunan Geseng namanya. Nama asli petani penyadap nira ini adalah Ki Cokrojoyo. Alkisah dalam pengembaraannya, Sunan Kalijaga terpikat suara merdu Ki Crokro yang bernyanyi setelah menyadap nira. Kalijaga meminta Ki Cokro mengganti syair lagunya dengan zikir kepada Allah. Ketika Ki Cokro berzikir mendadak gula yang ia buat dari nira itu berubah jadi emas. Petani ini heran bukan kepalang. Ia ingin berguru kepada Sunan Kalijaga. Untuk menguji keteguhan hati calon muridnya, Sunan Kalijaga menyuruh ki Cokro berzikir tanpa berhenti, sebelum ia datang lagi.
Setahun kemudian Sunan Kalijaga teringat Ki Cokro. Sang aulia memerintahkan murid-muridnya mencari Ki Cokro yang berzikir di tengah hutan. Mereka kesulitan menemukannya karena tempat berzikir ki Cokro telah berubah menjadi padang ilalang dan semak belukar. Syahdan setelah murid murid Sunan Kalijaga membakar padang ilalang, tampaklah Ki Cokro sujud ke kiblat. Tubuhnya hangus alias geseng dimakan api. Tapi penyadap nira ini masih bugar mulutnya berzikir komat-kamit. Sunan Kalijaga membangunkannya dan memberinya nama Sunan Geseng. Ia menyebarkan agama Islam di Desa Jatinom, sekitar 10 kilometer dari kota Klaten arah ke utara. Penduduk Jatinom mengenal Sunan Geseng dengan sebutan Ki Ageng Gribik. Julukan itu berangkat dari pilihan Sunan Geseng untuk tinggal di rumah beratap gribik --anyaman daun nyiur--.
Menurut legenda setempat, ketika Ki Ageng Gribik pulang dari menunaikan ibadah haji, ia melihat penduduk Jatinom kelaparan. Ia membawa sepotong kue apem, dibagikan kepada ratusan orang yang kelaparan. Semuanya kebagian. Kiai Ageng Gribik meminta warga yang kelaparan makan secuil kue apem seraya mengucapkan zikir: Ya- Qowiyyu (Allah Mahakuat). Mereka pun kenyang dan sehat. Sampai kini, masyarakat Jatinom menghidupkan legenda Ki Ageng Gribik itu dengan menyelenggarakan upacara ''Ya-Qowiyyu'' pada setiap bulan Syafar. Warga membikin kue apem, lalu disetorkan ke masjid. Apem yang terkumpul jumlahnya mencapai ratusan ribu. Kalau ditotal, beratnya sekitar 40 ton. Puncak upacara berlangsung usai salat Jumat. Dari menara masjid kue apem disebarkan para santri sambil berzikir, Ya Qowiyyu. Ribuan orang yang menghadiri upacara memperebutkan apem ''gotong royong'' itu.
Kisah Ki Ageng Gribik hanyalah satu dari sekian banyak mitos tentang para wali. Legenda keagamaan yang ditulis babad yang menurut De Graaf sedikit nilai kebenarannya. Hanya yang mengenai wali-wali terkemukalah katanya yang ada kepastian sejarah yang cukup kuat. Makam mereka masih tetap merupakan tempat yang sangat dihormati dan pada kurun abad ke-16 hingga abad ke-17, keturunan para wali juga memegang peranan penting dalam sejarah politik Jawa.
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !